Masjid Agung Pondok Tinggi
Sejarah berdirinya
Masjid Agung Pondok Tinggi ini, dibangun secara bergotong-royong oleh warga
Desa Pondok Tinggi pada tahun 1874 M. Menurut masyarakat setempat,
pembangunan Masjid Agung ini dimulai pada hari Rabu, tanggal 1 Juni 1874, dipilihnya pada hari rabu ini menurut
adat setempat merupakan hari terbaik mendirikan rumah atau bangunan.
Pada awalnya dinding Masjid
Agung ini terbuat dari anyaman bambu, dan pada tahun 1890 oleh masyarakat
setempat, dinding tersebut diganti dengan kayu yang diukir dengan indah. Masjid
tersebut hanya dikerjakan kurang lebih 90 kepala keluarga warga Sungai
Penuh. Dalam pelaksanaan pembangunan masjid, warga masyarakat baik laki-laki
maupun perempuan bergotong-royong dan bahu-membahu mengumpulkan kayu.
Untuk melanjutkan
pembangunan, warga kemudian membentuk panitia pelaksana pembangunan masjid diketuai oleh jenang yang dilakukan
secara musyawarah. Dari hasil musyawarah tersebut, maka disepakatilah empat
orang yang bertugas sebagai pelaksana inti. Adapun keempat orang tersebut,
yaitu:
1.
Bapak Imam
Muhammad (Suku Mandaro).
2.
Bapak Hasip
(Suku Pati).
3.
Bapak Timah
Taat.
4.
Bapak K.H.
Imam Rajo Saleh (Suku Tumenggung).
Keempat orang itu
menunjukkan hasil rancangan masjid yang akan dibangun. Maka, terpilihlah
rancangan dari Bapak K.H. Imam Rajo Saleh dari suku Tumenggung. Di Sungai
Penuh, tumenggung istilahnya anak betino. Jika di Pondok Tinggi tumenggung
istilahnya anak jantan. Di samping masjid ini terdapat makam pendirinya sebagai
tanda penghormatan.
Makam Pendiri Masjid |
Arsitektur yang
bertugas merancang bangunan disepakati Bapak M. Tiru, yang merupakan warga
Dusun Pondok Tinggi. Kemudian 12 tukang bangunan mengerjakan rancangan
masjid tersebut. Ke-12
orang tukang bangunan tersebut bertugas membantu mengukur, memotong, dan
memilah berbagai komponen bangunan.
Tujuh hari tujuh
malam saat awal pembangunan dilakukan berbagai macam atraksi dengan
mengorbankan 12 ekor kerbau. Warga dusun juga mengadakan pegelaran berbagai
seni pertunjukan tradisional Kerinci, yaitu pencak silat. Selain
dihadiri oleh seluruh warga dusun, pesta keramaian tersebut juga dihadiri oleh
seorang pangeran pemangku dari Jambi. Namun, nama pangeran tersebut tidak
diketahui hingga saat ini. Dengan semangat
gotong-royong yang dipimpin oleh pemuka adat dan
agama, dipati, ninik mamak, serta cerdik pandai, pembangunan Masjid
Agung Pondok Tinggi selesai dibangun pada tahun 1902.
Pada awalnya
masjid ini bernama Masjid Pondok Tinggi. Sesuai dengan lokasinya yang berada di
Dusun Pondok Tinggi. Kemudian, nama tersebut sedikit bertambah ketika
Bung Hatta (Wakil Presiden Pertama RI) berkunjung ke Sungai Penuh pada tahun
1953. Beliau menyebutnya ‘Masjid Agung’, maka sampai sekarang masjid ini
dinamai ‘Masjid Agung Pondok Tinggi’. Masjid ini hanya dapat direnovasi oleh
pewarisnya saja. Keramik masjid baru pertama kali dipasang pada tahun 1981.
2. Bagian-Bagian Bangunan
Masjid Agung
Pondok Tinggi menghadap ke timur dan
berdenah bujur sangkar dengan ukuran luar
30 x 30 m dan ukuran dalam 28 x 28 m. Tinggi bangunan dari lantai dasar hingga
ke puncak atap lebih kurang 100 kaki (sekitar 30,5 m). Dinding masjid terbuat
dari kayu dan dihias dengan ukiran motif flora dan mempunyai kisi-kisi yang
berfungsi sebagai ventilasi. Pada setiap sudut dinding terdapat hiasan motif
sulur-suluran. Sedangkan lantai masjid terbuat dari ubin.
Ruang Utama Masjid |
Masjid ini
mempunyai 2 buah pintu masuk berdaun ganda yang berhiaskan ukiran motif tumpal
dan sulur-suluran. Di dalam masjid terdapat 36 buah tiang kayu berbentuk segi
delapan dan berhiaskan ukiran motif tumpal dan sulur-suluran. Tiang-tiang
tersebut dikelompokkan menjadi 3, yakni :
1. Kelompok 1 terdiri atas 4 buah tiang panjang
sambilea (17 m, artinya 17 Ramadhan dan berdiameter 0,90 m) yang disebut
tiang tuao (sakorawa) yang terletak di tengah-tengah ruang utama masjid.
2. Kelompok 2 terdiri atas 8 buah tiang panjang
limau (8 m dan berdiameter 0,65 m) yang mengelilingi tiang kelompok 1.
3. Kelompok 3 terdiri atas 24 buah tiang panjang
duea (5,5 m dan berdiameter 0,65 m) yang merupakan tiang dasar sebagai
penyangga yang mengelilingi tiang kelompok 2.
Kelompok 1 |
Kelompok 2 |
Kelompok 3 |
Selain ke-36 tiang tersebut, ada pula tiang sambut, yakni
tiang yang tergantung dan tidak bertumpu pada tanah tetapi terikat pada
kayu-kayu alang. Desain meggantung ini dimaksudkan agar tiang tersebut memiliki
daya lenting dan elastis, sehingga tahan terhadap gempa bumi yang memang sering
terjadi di kawasan tersebut. Setiap tiang dihubungkan dengan papan penguat yang
berukir sulur-sulur.
Tiang Sambut |
Mihrab
masjid terletak di sebelah barat, berdenah persegi panjang dengan ukuran 3 x 4 m.
Pada dindingnya terdapat hiasan bunga dari porselin buatan Belanda. Mihrab
merupakan bangunan tambahan terbuat dari tembok yang dibangun pada tahun 1916.
Pintu mihrab berada di sisi timur berjumlah dua. Pada bagian depan
mihrab terdapat bentuk lengkung yang dihias dengan ukiran motif geometris dan
sulur-suluran, serta tempelan tegel keramik. Atap mihrab
berbentuk kubah dengan mustaka di atasnya.
Di sebelah
utara mihrab terdapat mimbar berukuran 2,40 x 2,80 m yang ditopang oleh enam
buah tiang dan memiliki tiga anak tangga sebagai jalan masuk. Hiasan pada
mimbar menyerupai bunga padma kala mekar dan daun-daunan serta dihias dengan
ukiran motif sulur-suluran dan atap berbentuk kubah.
Mimbar |
Mimbar |
Keunikan
lain dari masjid ini adalah tempat muadzin mengumandangkan adzan terletak di
atas tiang utama masjid. Tempat adzan dibuat di atas karena pada saat itu belum
ada pengeras suara. Untuk mencapainya dihubungkan dengan tangga berukir motif
sulur-suluran berjumlah 17 anak tangga dan diakhiri sebuah panggung kecil
berbentuk bujur sangkar yang berukuran 2,60 x 2,60 m dikelilingi pagar berhias
ukiran motif flora. Panggung kecil inilah yang merupakan tempat muadzin berdiri
dan mengumandangkan adzan. Tempat adzan ini berada 7 meter di atas lantai.
Di
luar masjid juga terdapat dua buah bedug. Bedug pertama disebut bedug
larangan terbuat dari satu batang pohon dan dipukul atau dibunyikan
bila ada bahaya, seperti banjir, kebakaran, dan lain-lain. Bedug besar ini
berukuran : panjang 9 m, garis tengah bagian yang dipukul (bagian depan 1,15 m
dan bagian belakang 1,10 m).
Bedug kedua berfungsi sebagai pemberi
tanda waktu shalat. Bedug kecil berukuran : panjang 7 m, garis
tengah yang dipukul (bagian depan 75 cm dan bagian belakang 69 cm). Beduk ini lebih
tua dari masjid yang dibuat dari kayu yang sangat besar. Tali pengikat bedug
terbuat dari kulit sapi atau kerbau dan disebut saoh.
Atap
bangunan masjid berupa atap tumpang bersusun tiga tingkat yang semakin mengecil
ke atas dengan bahan dari seng. Atap teratas berbentuk limasan yang pada
puncaknya terdapat mustaka dihias dengan bulan sabit dan bintang yang melambangkan
susunan pemerintahan yang ada di Dusun Pondok Tinggi.
Susunan atap tiga lapis ini merupakan lambang dari tatanan hidup masyarakat Kerinci, yakni bapucak satau (berpucuk satu), barempe juroi (berjurai empat), dan bertingkat tigie (bertingkat tiga). Secara ringkas, makna filosofis dari ungkapan di atas adalah :
Susunan atap tiga lapis ini merupakan lambang dari tatanan hidup masyarakat Kerinci, yakni bapucak satau (berpucuk satu), barempe juroi (berjurai empat), dan bertingkat tigie (bertingkat tiga). Secara ringkas, makna filosofis dari ungkapan di atas adalah :
1. Bapucauk satau, artinya menghormati satu kepala adat dan
menjunjung tinggi kepercayaan pada Tuhan Yang Esa.
2. Barempe juroi, artinya di Dusun Pondok Tinggi terdapat
empat jurai. Di setiap jurai terdapat seorang ninik mamak atau pemangku adat
dan seorang imam. Jadi, terdapat empat orang pemangku adat dan empat orang
imam.
3. Bertingkat tigie, artinya, masyarakat Pondok Tinggi tidak
pernah melepaskan seko nan tega takak (pusaka tiga tingkat) yang terdiri
dari seko teganai, seko ninik mamak, dan seko depati.
Tiang tuo (sakorawa)
diberi paku emas untuk menolak bala, dan pada puncaknya diberi kain brwarna
merah dan putih sebagai lambang kemuliaan. Belum didapat penjelasan, apakah
pemberian kain merah putih ini dilakukan sejak awal masjid berdiri, atau
setelah Indonesia merdeka, mengingat bendera nasional Indonesia adalah merah
putih.Atap Masjid |
3. Corak atau Motif dan Makna
Pada dinding masjid terdapat kisi-kisi yang berfungsi sebagai ventilasi. Lubang ventilasi berjumlah tujuh (tujuh golongan) yang artinya langit ketujuh. Ventilasi ini memiliki 4 warna. Warna tersebut menggambarkan 4 adat dan 4 suku daerah Pondok Tinggi. Keempat warna tersebut, yaitu :
1. Hijau, artinya keislaman.
2. Kuning, artinya aura sinar masjid.
3. Putih, artinya aura sinar masjid.
Ukiran yang berbentuk seperti huruf S itu
diambil dari huruf pertama kata Saleh (K.H. Imam Rajo Saleh) melambangkan
pendiri Masjid Agung.
Ukiran di
atas dinamakan keluk paku kacang belimbing, maksudnya anak dipangku
keponakan dibimbing.
Dari uraian di
atas, tampak bahwa desain arsitektur masjid ini merupakan refleksi dari
sebagian pandangan hidup masyarakat berkaitan dengan adat istiadat dan
ketuhanan.
Sumber :
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. 1999. Masjid Kuno Indonesia. Jakarta: Proyek Pembinaan
Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat.
Abdul Baqir Zein. 1999. Masjid-Masjid Bersejarah di
Indonesia. Jakarta: Gema Insani Proses.
Komentar
Posting Komentar